Rabu, 02 Oktober 2013

Karyaku Yang Pertama



Bagiku karya sastra terutama cerpen merupakan  karya sastra yang indah karena kita bisa menuangkan segala inspirasi, impian  maupun imajinasi dari diri kita untuk dituangkan kedalam bentuk tulisan. Ini adalah cerpen pertamaku yang aku tulis sejak aku SMA, aku senang buat cerpen dari pengalaman hidupku dan orang-orang disekitarku. Aku senang bisa menulis cerpen ini karena ini adalah suatu impianku yang tak bisa aku raih, ini adalah cerpen motivasi diriku.


BULAN BERSINAR DI MALAM YANG KELAM
Oleh : GALIH PRATAMA SENJA



Cuaca hari ini sangat buruk, dari kemaren sore tak henti-hentinya hujan turun mengguyur desa Sukamaju. Sebuah desa yang terletak disebelah barat kota Bandung  yang masih asri. Gemuruh suara halilintar semakin terdengar keras di telingaku, angin bertiup dengan kencang dari sebelah barat rumahku hingga membuatku dan Rini adikku takut jika pohon kelapa yang ada di samping rumah tumbang. Saat itu, ayah sedang tidak ada di rumah, Beliau pergi ke sawah untuk melihat  tanggul pematang sawah  jebol terkena banjir sungai yang meluap. Rini semakin erat memeluk tubuhku saat halilintar menggelegar begitu keras di depan mata kami.
“Kak, aku takut,” desahnya sambil menutup telinganya rapat-rapat.
“Rini gak usah takut, ya. Disini Kan ada kakak  yang akan selalu menjaga Rini,” kataku seraya membelai rambutnya.
“Ayah kemana, kak? Kok dari tadi belum pulang?
“Hmmm, ayah sedang pergi ke sawah melihat pematang yang kemaren jebol diterpa banjir.”
“Lama banget,  kak. Aku takut kalau nanti ayah kenapa-napa.”
Tiba-tiba terdengar pintu belakang terbuka, Rini bergegas melompat dari pangkuanku seraya berkata “Pasti itu ayah datang, kak”.
Pak Salim yang mendengar ucapan putrinya langsung menghampirinya dimana Rini sedang berdiri di depan ruang makan sambil berteriak-riak riang.
“Hore… Ayah pulang.” teriaknya dengan girang.
Akupun hanya tersenyum memandangi adikku dari tempat dimana aku dan dia duduk tadi. Begitu girangnya dia melihat ayahnya yang baru pulang dari sawah.
“Ayah gimana keadaan sawah sekarang? Apakah tanggulnya jebol lagi? tanyaku dengan penuh kekhawatiran.
“Untung tanggulnya tidak jebol, Nak. Tapi, sawah yang sebelah barat semua padinya roboh diterpa angin.”
“Hah? Semuanya, yah? Aku kaget.
“Iya, Din. Kalau kamu tidak percaya besok pagi kamu bisa lihat ke sawah sendiri.”
“Yach, ayah. Padahal kan seminggu lagi rencananya mau dipanen. Gimana memanennya kalau semua roboh? Ah, semakin membuang tenaga yah”.
“Kamu gak usah khawatir Din yang memetik besok kan ayah, kalau memang kamu mau bantu , kamu bisa memetik yang tidak roboh, kan masih ada beberapa petak disebelah timur”, jelas ayahnya sambil minum kopi buatan Dina.
“Iya, yah. Tapi kasihan ayah kalau harus memetik sendirian, lagian yang roboh hampir separuh, yah”.
“Tenang saja din. Besok ayah akan kasih tahu bibimu, Ginah,  suruh bantu memetik”.
“Bibi Ginah, yah? Bukannya bibi masih di Surabaya ke rumah mertuanya?
“Bibimu sudah pulang dari kemaren sore. Iya sudah, cepet mandiin adikmu, hari sudah sore ntar keburu dingin,  kasihan adikmu”.
“Iya ayah,”jawabku sambil bergegas menuju ke kamar menemui Rini yang sedang belajar.
“Rini, ayo mandi udach sore lho, belajarnya dilanjutkan habis mandi aja”.
“ Iya, kak”, jawabnya ketus seraya memasukkan bukunya kedalam tas,  kemudian mengikuti langkah kakiku menuju ke kamar mandi.

***

Matahari pun mulai menyembunyikan dirinya dari ufuk barat diiringi dengan gerimis rintik-rintik yang menguyur desa sukamaju dari kemarin pagi. Tak terasa besok sudah tanggal 4 januari 2013, waktunya aku dan rini kembali masuk sekolah, setelah dua minggu liburan semester satu. Aku harus bisa mendapatkan prestasi yang lebih baik daripada kemaren dan harus bisa masuk perguruan tinggi melalui jalur PMDK di Universitas Indonesia, bisiknya dalam hati sambil tersenyum memandangi foto ibunya yang telah meninggal tiga tahun yang lalu sejak adiknya masih berumur 4 tahun. Ibunya meninggal gara-gara terserang penyakit kanker otak, penyakit yang dideritanya sejak beliau melahirkan adiknya. Memang itulah takdir yang harus diterima oleh keluarganya Dina, kehilangan seorang ibu yang amat sangat mereka sayangi.
Meski ibunya telah tiada, Dina telah terbiasa mengurus ayah dan adiknya sendirian. Dia tak pernah mengeluh, semua dia jalani dengan lapang dada.
Tiba-tiba ayahnya datang menghampirinya, Dina sangat kaget dan terkejut.
“Ayah ngagetin aja sich!!!!”
Ayahnya hanya tersenyum lalu duduk didekatnya sambil bekata “Besok kamu sudah sekolah, kan?? Lihat itu adikmu aja tanpa disuruh sudah belajar sendiri, kamu kakaknya malah gak belajar. Kamu harus memberi contoh teladan yang baik buat adikmu.”
“Iya ayah maafkan Dina. Dina janji gak akan mengulangi lagi”
  “Ya sudah cepat belajar sana.”
“Tapi ayah……Dina masih pengen lihat ibu, Dina kangen sama ibu,” kata Dina sambil memeluk ayahnya.
“Dina, ibumu pasti sedih kalau melihat anaknya sedih. Kamu gak pengen kan kalau ibumu sedih???” tutur pak Salim kepada anaknya.
“Iya ayah. Aku kan dah janji sama ibu kalau Dina gak akan cengeng lagi. Dina harus jadi anak yang tegar, pintar, sopan dan sayang sama ayah dan rini, ” ujarnya sambil mengusap airmatanya lalu bangkit dari tempat duduknya meninggalkan ayahnya menuju ke kamar.
 “Kak ajari aku matematika, donk,” teriak Rini dalam kamarnya.
Akupun langsung menghampirinya dan duduk disebelahnya.
“Mana yang gak bisa ???”
“Ini lho kak, aku masih bingung sama perkalian dan pembagian.”
Dina pun mulai mengajari adiknya, satu persatu dia jelaskan dengan penuh kesabaran selayaknya seorang ibu. Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam, Dina pun membujuk adiknya agar lekas tidur.
“Rini, ayo bubuk,  sudah malam lho. Besok kan sudah masuk sekolah dan kamu harus bangun pagi.”
“Sebentar lagi kak kurang sedikit ni lho, nanggung,” rengek Rini.
“Ya sudah kamu selesaikan sampai nomor sepuluh saja, lainnya dikerjakan besok lagi, ” kataku kepada rini.
“Iya, kak,” jawabnya sambil memasukkan buku ke dalam tas lalu beranjak menuju kamar.
Kicauan burung terdengar merdu diiringi munculnya sang fajar bersemburat jingga di ufuk timur. Pak salim beserta kedua putrinya sudah bersiap-siap untuk melakukan aktifitasnya masing-masing. Hari itu, pak Salim berencana untuk memetik padi yang roboh diterpa angin kemaren sore.
“Ayah….” panggil Dina saat hendak mengambil sarapan.
“Ada apa, Din???”
“Nanti habis pulang sekolah Dina langsung kerumahnya bu Susi, yah. Dua minggu lagi kan aku harus ikut olompiade antar pelajar di Universitas Indonesia(UI) ,” tutur Dina.
“Kamu benar-benar jadi ikut olimpiade itu???,” tanya pak Salim setengah tidak percaya.
“Iya, ayah. Masak ayah lupa sich, kemaren ayah mengambil raporku kan sudah dikasih tahu sama wali kelasku, bu Yuni, kalau aku disuruh mewakili sekolah,” terangnya Dina untuk meyakinkan ayahnya.
“Oh iya, Din, ayah benar-benar lupa maklum ayah kan sudah tua.” jawab pak Salim sambil tersenyum hingga terlihat raut wajahnya yang penuh dengan kewibawaan.
“Dina harus menang!!!! Dina harus bisa menunjukkan kapada ibu kalau Dina bisa meraih cita-cita sesuai dengan keinginan ibu menjadi seorang dokter yang terkenal,” kataku dengan penuh keyakinan dan semangat.
Pak Salim hanya tersenyum melihat tekad putrinya penuh dengan keyakinan.
“Ya, tuhan, mudah-mudahan saja anakku bisa meraih apa yang dia cita-citakan menjadi seorang dokter,” bisik Pak Salim  dalam hati.
Jam sudah menunjukkan pukul setengah tujuh tepat, Dina dan rini pun bergegas untuk berangkat kesekolah, sebelum berangkat tak lupa mereka mencium tangan ayahnya.

*****

Jalan pun mulai ramai, banyak para petani yang berbondong-bondong pergi ke sawah untuk memanen padi. Kanan kiri jalan masih dipenuhi oleh pohon-pohon akasia yang begitu rindang. Begitu indahnya desaku tercinta, gumamnya dalam hati saat ia mengayuh sepeda kunonya . Tak terasa aku pun telah tiba di pintu gerbang sekolah, banyak teman-teman yang sudah datang dengan raut wajah yang berseri-seri. Aku langsung memarkirkan sepedaku di tempat yang biasanya, kemudian aku menuju ke kelas. Sampai di depan pintu kelas aku begitu kaget saat teman-temanku menyambut kedatanganku dengan histeris.
“Dina….. Dina, selamat ya kamu dapat juara satu,” teriak teman-temanku sambil menjabat tanganku secara bergantian.
“Terima kasih teman, ini juga berkat kalian juga, aku bangga punya teman seperti kalian semua,” kata Dina kepada teman-temannya.
Teng…teng…teng… Bel masuk berbunyi tiga kali. Semua siswa segera masuk ke kelas masing-masing, aku pun langsung menuju ke bangkuku dimana aku duduk. Beberapa menit kemudian, Bu Yuni wali kelasku masuk ke dalam kelas.
“Selamat pagi anak-anak,” sapanya seraya tersenyum manis.
“Pagi, bu,” jawab anak-anak serentak.
“Anak-anak kalian harus lebih giat belajar lagi, sebentar lagi kan kalian akan menghadapi ujian nasional yang akan dilaksanakan sekitar bulan maret mendatang. Kalian harus mempersiapkan diri kalian mulai saat ini juga, tantangan ujian nasional kali ini sangat berat anak-anak, nilai kelulusan tahun ini berbeda dari tahun yang kemaren, kemaren nilai lulusannya saja sudah 6.00 namun saat ini pemerintah menaikkan nilai kelulusan menjadi 7.00,” tutur bu Yuni.
“Iya, Bu…” jawab anak-anak dengan penuh semangat.
Aku hanya tersenyum melihat teman-temanku, tiba-tiba bu Yuni menghampiri tempat dudukku lalu berkata “Dina, selamat ya kamu sudah dapat juara umum di sekolah ini. Terus tingkatkan prestasimu dan jangan lupa dua minggu lagi kamu mengikuti lomba olimpiade Biologi. Sainganmu disana nanti sangat berat, Din. Kamu harus mempersiapkan diri mulai dari sekarang.”
“Iya, Bu. Saya akan berusaha semaksimal mungkin dan terus belajar agar saya bias  membawa pulang piala untuk sekolah kita tercinta,” kata Dina dengan penuh semangat dan percaya diri.
“Amin…Kamu nanti jadi kerumahnya bu Susi kan???”
“Iya, Bu. Saya sudah berjanji kepada bu Susi bahwa saya akan belajar biologi di rumah beliau,” jelasku.
“Kamu harus belajar yang rajin, Din!!!” kata Usi teman sebangkuku.
“Iya, Din kamu harus bias membawa pulang piala itu ke sekolah kita,” sahut Ricky teman sekelasku yang paling gokil dan diikuti oleh anak-anak yang laen.
Aku hanya tersenyum melihat teman-temanku yang begitu perhatian kepadaku. Aku bangga punya teman seperti mereke, meski nakal dan agak bandel tapi sebenarnya mereka baik dan pintar. Tak terasa bel pulang berbunyi, kami pun segera berkemas-kemas untuk pulang. Sebelum pulang tak lupa kami berdo’a terlebih dahulu, setelah berdo’a selesai kamipun meniggalkan kelas tuk pulang ke rumah masing-masing.

***

Hari yang ku tunggu-tunggu pun telah tiba, aku harus berangkat pagi-pagi ke sekolah karena hari ini aku harus berangkat ke Jakarta untuk mengikuti olimpiade di Universitas Indonesia. Sebelum berangkat aku berpamitan kepada ayah untuk meminta doa restu agar disana diberi kemudahan dalam  mengerjakan.
“Ayah…doakan Dina, ya. Moga aja Dina lancar mengerjakan soal-soalnya dan mendapatkan juara.”
“Iya, sayank. Ayah pasti mendo’akan kamu. Hati-hati saat mengerjakan soal dan jangan tergesa-gesa, kamu harus teliti saat mengerjakannya,” kata pak Salim menasehati Dina.
“Iya, Ayah. Dina berangkat dulu,” pamit Dina kepada ayahnya.
“Hati-hati, Nak. Mudah-mudahan kamu bias mengerjakan dan mendapatkan juara,” jawab pak Salim dalam hati.
Tepat pukul tujuh pagi Dina, Bu Susi dan Pak Arief Kepala Sekolah kami berangkat ke Jakarta dengan menggunakan mobilnya Pak Arief. Sekitar dua jam perjalanan akhirnya kamipun tiba di kampus Universitas Indonesia, suasana disana sudah ramai. Sesampai di depan kampus aku dan bu Susi turun kemudian Pak Arief langsung menuju ke parkiran untuk memarkirkan mobilnya. Aku sangat minder melihat teman-teman, karena mereka kebanyakan berasal dari anak orang kaya, mungkin hanya aku sendiri anak orang kurang mampu. Namun, dengan tekad dan semangat aku harus bangga bisa ikut Olimpiade ini karena hanya satu-satunya dari sekolah desa.
Sekitar pukul sepuluh lomba pun di mulai yang diikuti oleh 33 anak dari berbagai provinsi di Indonesia. Waktu terasa begitu cepat, tiga jam telah berlalu,  suara bel pun berbunyi tanda lomba sudah selasai, semua peserta lomba berhenti mengerjakan. Begitu pula denganku. Aku bersyukur bisa mengerjakan semua soal yang telah diberikan. Setelah semua peserta mengumpulkan, mereka pun kembali ke tempat semula bersama bapak ibu guru pendamping sambil menunggu hasil pengumuman. Aku pun langsung menghampiri bu Susi dan pak Arief.
“Gimana tadi, Din??? Kamu bisa mengerjakannya kan???” tanya pak Arief dengan penuh keyakinan.
“Astungkara, Pak. Soal-soalnya agak mudah-mudah pak. Semua yang diajarkan oleh bu Susi kepada saya keluar, Pak,” tuturku kepada pak Arief.
“Terima kasih, Bu telah mengajari saya dan memberi motivasi saya hingga saya bisa mengerjakan semuanya,” ucap Dina.
“Iya, Nak. Itu juga berkat hasil perjuanganmu,kalau kamu tidak ada keinginan untuk belajar tak mungkin kamu bisa mengerjakannya.”
“Iya, Bu,” jawabku terharu.
Jam sudah menunjukkan pukul tiga sore, saat itulah yang aku tunggu-tunggu, hatiku berdebar-debar hingga tubuhku keluar keringat dingin, ingin rasanya aku cepat-cepat pengen tahu siapa yang akan jadi pemenang. Tak lama kemudian dewan juri pun mengumumkan siapa yang jadi pemenang. Jantungku semakin berdebar-debar, ku pegang erat-erat tangan bu Susi saat dewan juri membacakan siapa yang jadi pemenang. Aku kaget dan tercengang saat namaku dipanggil sebagai juara pertama dalam olimpiade kali ini. Aku tak yakin, aku bisa jadi juara pertama. Akupun langsung berteriak histeris sambil memeluk bu Susi. Air mata pun tak dapat lagi dibendung, aku bangga bisa mendapatkan apa yang ibu inginkan saat beliau masih hidup. Aku sangat bersyukur sekali bisa mendapatkan juara pertama dalam  Olimpiade Biologi kali ini.
Lomba telah usai kami pun pulang dengan hati yang berbunga-bunga, kami telah berhasil membawa pulang  sebuah penghargaan ke sekolah tercinta kami SMA NEGERI SUKAMAJU. Tepat pukul tujuh malam aku sampai di rumah. Setiba di rumah aku pun disambut dengan gembira oleh ayahku dan Rini, mereka begitu senang melihat aku pulang dengan membawa sebuah prestasi. Tapi sayang, ibu tak ada di saat aku merasakan kebahagiaan.
Keesokan harinya, aku pergi ke makam ibu untuk berziarah dan memberitahunya bahwa aku bisa mendapatkan apa yang dulu ibu inginkan.
“Moga aja ibu senang mendengarnya,” ucapku dalam hati.
Sesampai di makam aku pun langsung meletakkan sebuah karangan bunga di atas batu nisannya. Tak terasa air mataku berlinang.
 “Ibu… Andai saja ibu masih hidup, ibu pasti bangga melihat aku. Aku sudah bisa meraih apa yang ibu inginkan,” isak tangisnya.

***


Bulan demi bulan telah berlalu, akupun sudah lulus dari SMA NEGERI SUKAMAJU dengan nilai yang memuaskan. Sekarang aku sudah masuk di fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Aku bangga bisa sekolah disini dengan jerih payahku selama tiga tahun dan do’a orang tuaku. Namun, aku harus berpisah dengan ayah dan adikku demi cita-citaku menjadi seorang dokter.
Sesuatu itu tak mungkin dapat diraih dan dicapai apabila kita tak berusaha belajar dan berdoa.


HIDUP ITU ADALAH PILIHAN, PILIHAN AKAN MELAHIRKAN SUATU TUJUAN DAN TUJUANKU ADALAH MENJADI YANG TERBAIK  DARI YANG PALING BAIK!!!!!

Tidak ada komentar:

Posting Komentar