Bagiku
karya sastra terutama cerpen merupakan
karya sastra yang indah karena kita bisa menuangkan segala inspirasi,
impian maupun imajinasi dari diri kita
untuk dituangkan kedalam bentuk tulisan. Ini adalah cerpen pertamaku yang aku
tulis sejak aku SMA, aku senang buat cerpen dari pengalaman hidupku dan
orang-orang disekitarku. Aku senang bisa menulis cerpen ini karena ini adalah
suatu impianku yang tak bisa aku raih, ini adalah cerpen motivasi diriku.
Oleh
: GALIH PRATAMA SENJA
Cuaca hari ini
sangat buruk, dari kemaren sore tak henti-hentinya hujan turun mengguyur desa
Sukamaju. Sebuah desa yang terletak disebelah barat kota Bandung yang masih asri. Gemuruh suara halilintar
semakin terdengar keras di telingaku, angin bertiup dengan kencang dari sebelah
barat rumahku hingga membuatku dan Rini adikku takut jika pohon kelapa yang ada
di samping rumah tumbang. Saat itu, ayah sedang tidak ada di rumah, Beliau
pergi ke sawah untuk melihat tanggul
pematang sawah jebol terkena banjir
sungai yang meluap. Rini semakin erat memeluk tubuhku saat halilintar
menggelegar begitu keras di depan mata kami.
“Kak, aku
takut,” desahnya sambil menutup telinganya rapat-rapat.
“Rini gak usah
takut, ya. Disini Kan ada kakak yang
akan selalu menjaga Rini,” kataku seraya membelai rambutnya.
“Ayah kemana,
kak? Kok dari tadi belum pulang?
“Hmmm, ayah
sedang pergi ke sawah melihat pematang yang kemaren jebol diterpa banjir.”
“Lama
banget, kak. Aku takut kalau nanti ayah
kenapa-napa.”
Tiba-tiba
terdengar pintu belakang terbuka, Rini bergegas melompat dari pangkuanku seraya
berkata “Pasti itu ayah datang, kak”.
Pak Salim yang
mendengar ucapan putrinya langsung menghampirinya dimana Rini sedang berdiri di
depan ruang makan sambil berteriak-riak riang.
“Hore… Ayah
pulang.” teriaknya dengan girang.
Akupun hanya
tersenyum memandangi adikku dari tempat dimana aku dan dia duduk tadi. Begitu
girangnya dia melihat ayahnya yang baru pulang dari sawah.
“Ayah gimana
keadaan sawah sekarang? Apakah tanggulnya jebol lagi? tanyaku dengan penuh
kekhawatiran.
“Untung
tanggulnya tidak jebol, Nak. Tapi, sawah yang sebelah barat semua padinya roboh
diterpa angin.”
“Hah?
Semuanya, yah? Aku kaget.
“Iya, Din.
Kalau kamu tidak percaya besok pagi kamu bisa lihat ke sawah sendiri.”
“Yach, ayah.
Padahal kan seminggu lagi rencananya mau dipanen. Gimana memanennya kalau semua
roboh? Ah, semakin membuang tenaga yah”.
“Kamu gak usah
khawatir Din yang memetik besok kan ayah, kalau memang kamu mau bantu , kamu
bisa memetik yang tidak roboh, kan masih ada beberapa petak disebelah timur”,
jelas ayahnya sambil minum kopi buatan Dina.
“Iya, yah.
Tapi kasihan ayah kalau harus memetik sendirian, lagian yang roboh hampir
separuh, yah”.
“Tenang saja
din. Besok ayah akan kasih tahu bibimu, Ginah, suruh bantu memetik”.
“Bibi Ginah,
yah? Bukannya bibi masih di Surabaya ke rumah mertuanya?
“Bibimu sudah
pulang dari kemaren sore. Iya sudah, cepet mandiin adikmu, hari sudah sore ntar
keburu dingin, kasihan adikmu”.
“Iya
ayah,”jawabku sambil bergegas menuju ke kamar menemui Rini yang sedang belajar.
“Rini, ayo
mandi udach sore lho, belajarnya dilanjutkan habis mandi aja”.
“ Iya, kak”,
jawabnya ketus seraya memasukkan bukunya kedalam tas, kemudian mengikuti langkah kakiku menuju ke
kamar mandi.
***
Matahari pun
mulai menyembunyikan dirinya dari ufuk barat diiringi dengan gerimis
rintik-rintik yang menguyur desa sukamaju dari kemarin pagi. Tak terasa besok
sudah tanggal 4 januari 2013, waktunya aku dan rini kembali masuk sekolah,
setelah dua minggu liburan semester satu. Aku harus bisa mendapatkan prestasi
yang lebih baik daripada kemaren dan harus bisa masuk perguruan tinggi melalui
jalur PMDK di Universitas Indonesia, bisiknya dalam hati sambil tersenyum
memandangi foto ibunya yang telah meninggal tiga tahun yang lalu sejak adiknya
masih berumur 4 tahun. Ibunya meninggal gara-gara terserang penyakit kanker
otak, penyakit yang dideritanya sejak beliau melahirkan adiknya. Memang itulah
takdir yang harus diterima oleh keluarganya Dina, kehilangan seorang ibu yang
amat sangat mereka sayangi.
Meski ibunya
telah tiada, Dina telah terbiasa mengurus ayah dan adiknya sendirian. Dia tak
pernah mengeluh, semua dia jalani dengan lapang dada.
Tiba-tiba
ayahnya datang menghampirinya, Dina sangat kaget dan terkejut.
“Ayah ngagetin
aja sich!!!!”
Ayahnya hanya
tersenyum lalu duduk didekatnya sambil bekata “Besok kamu sudah sekolah, kan??
Lihat itu adikmu aja tanpa disuruh sudah belajar sendiri, kamu kakaknya malah
gak belajar. Kamu harus memberi contoh teladan yang baik buat adikmu.”
“Iya ayah maafkan
Dina. Dina janji gak akan mengulangi lagi”
“Ya sudah cepat belajar sana.”
“Tapi
ayah……Dina masih pengen lihat ibu, Dina kangen sama ibu,” kata Dina sambil
memeluk ayahnya.
“Dina, ibumu
pasti sedih kalau melihat anaknya sedih. Kamu gak pengen kan kalau ibumu
sedih???” tutur pak Salim kepada anaknya.
“Iya ayah. Aku
kan dah janji sama ibu kalau Dina gak akan cengeng lagi. Dina harus jadi anak
yang tegar, pintar, sopan dan sayang sama ayah dan rini, ” ujarnya sambil
mengusap airmatanya lalu bangkit dari tempat duduknya meninggalkan ayahnya
menuju ke kamar.
“Kak ajari aku matematika, donk,” teriak Rini
dalam kamarnya.
Akupun
langsung menghampirinya dan duduk disebelahnya.
“Mana yang gak
bisa ???”
“Ini lho kak,
aku masih bingung sama perkalian dan pembagian.”
Dina pun mulai
mengajari adiknya, satu persatu dia jelaskan dengan penuh kesabaran selayaknya
seorang ibu. Tak terasa waktu telah menunjukkan pukul sembilan malam, Dina pun
membujuk adiknya agar lekas tidur.
“Rini, ayo
bubuk, sudah malam lho. Besok kan sudah
masuk sekolah dan kamu harus bangun pagi.”
“Sebentar lagi
kak kurang sedikit ni lho, nanggung,” rengek Rini.
“Ya sudah kamu
selesaikan sampai nomor sepuluh saja, lainnya dikerjakan besok lagi, ” kataku
kepada rini.
“Iya, kak,” jawabnya sambil memasukkan
buku ke dalam tas lalu beranjak menuju kamar.
Kicauan burung
terdengar merdu diiringi munculnya sang fajar bersemburat jingga di ufuk timur.
Pak salim beserta kedua putrinya sudah bersiap-siap untuk melakukan
aktifitasnya masing-masing. Hari itu, pak Salim berencana untuk memetik padi
yang roboh diterpa angin kemaren sore.
“Ayah….”
panggil Dina saat hendak mengambil sarapan.
“Ada apa,
Din???”
“Nanti habis
pulang sekolah Dina langsung kerumahnya bu Susi, yah. Dua minggu lagi kan aku
harus ikut olompiade antar pelajar di Universitas Indonesia(UI) ,” tutur Dina.
“Kamu
benar-benar jadi ikut olimpiade itu???,” tanya pak Salim setengah tidak
percaya.
“Iya, ayah.
Masak ayah lupa sich, kemaren ayah mengambil raporku kan sudah dikasih tahu
sama wali kelasku, bu Yuni, kalau aku disuruh mewakili sekolah,” terangnya Dina
untuk meyakinkan ayahnya.
“Oh iya, Din,
ayah benar-benar lupa maklum ayah kan sudah tua.” jawab pak Salim sambil
tersenyum hingga terlihat raut wajahnya yang penuh dengan kewibawaan.
“Dina harus
menang!!!! Dina harus bisa menunjukkan kapada ibu kalau Dina bisa meraih
cita-cita sesuai dengan keinginan ibu menjadi seorang dokter yang terkenal,”
kataku dengan penuh keyakinan dan semangat.
Pak Salim
hanya tersenyum melihat tekad putrinya penuh dengan keyakinan.
“Ya, tuhan,
mudah-mudahan saja anakku bisa meraih apa yang dia cita-citakan menjadi seorang
dokter,” bisik Pak Salim dalam hati.
Jam sudah
menunjukkan pukul setengah tujuh tepat, Dina dan rini pun bergegas untuk
berangkat kesekolah, sebelum berangkat tak lupa mereka mencium tangan ayahnya.
*****
Jalan pun
mulai ramai, banyak para petani yang berbondong-bondong pergi ke sawah untuk
memanen padi. Kanan kiri jalan masih dipenuhi oleh pohon-pohon akasia yang
begitu rindang. Begitu indahnya desaku tercinta, gumamnya dalam hati saat ia
mengayuh sepeda kunonya . Tak terasa aku pun telah tiba di pintu gerbang
sekolah, banyak teman-teman yang sudah datang dengan raut wajah yang
berseri-seri. Aku langsung memarkirkan sepedaku di tempat yang biasanya,
kemudian aku menuju ke kelas. Sampai di depan pintu kelas aku begitu kaget saat
teman-temanku menyambut kedatanganku dengan histeris.
“Dina….. Dina,
selamat ya kamu dapat juara satu,” teriak teman-temanku sambil menjabat
tanganku secara bergantian.
“Terima kasih
teman, ini juga berkat kalian juga, aku bangga punya teman seperti kalian
semua,” kata Dina kepada teman-temannya.
Teng…teng…teng…
Bel masuk berbunyi tiga kali. Semua siswa segera masuk ke kelas masing-masing,
aku pun langsung menuju ke bangkuku dimana aku duduk. Beberapa menit kemudian,
Bu Yuni wali kelasku masuk ke dalam kelas.
“Selamat pagi
anak-anak,” sapanya seraya tersenyum manis.
“Pagi, bu,”
jawab anak-anak serentak.
“Anak-anak
kalian harus lebih giat belajar lagi, sebentar lagi kan kalian akan menghadapi
ujian nasional yang akan dilaksanakan sekitar bulan maret mendatang. Kalian
harus mempersiapkan diri kalian mulai saat ini juga, tantangan ujian nasional
kali ini sangat berat anak-anak, nilai kelulusan tahun ini berbeda dari tahun
yang kemaren, kemaren nilai lulusannya saja sudah 6.00 namun saat ini
pemerintah menaikkan nilai kelulusan menjadi 7.00,” tutur bu Yuni.
“Iya, Bu…”
jawab anak-anak dengan penuh semangat.
Aku hanya
tersenyum melihat teman-temanku, tiba-tiba bu Yuni menghampiri tempat dudukku
lalu berkata “Dina, selamat ya kamu sudah dapat juara umum di sekolah ini.
Terus tingkatkan prestasimu dan jangan lupa dua minggu lagi kamu mengikuti
lomba olimpiade Biologi. Sainganmu disana nanti sangat berat, Din. Kamu harus
mempersiapkan diri mulai dari sekarang.”
“Iya, Bu. Saya
akan berusaha semaksimal mungkin dan terus belajar agar saya bias membawa pulang piala untuk sekolah kita
tercinta,” kata Dina dengan penuh semangat dan percaya diri.
“Amin…Kamu
nanti jadi kerumahnya bu Susi kan???”
“Iya, Bu. Saya
sudah berjanji kepada bu Susi bahwa saya akan belajar biologi di rumah beliau,”
jelasku.
“Kamu harus
belajar yang rajin, Din!!!” kata Usi teman sebangkuku.
“Iya, Din kamu
harus bias membawa pulang piala itu ke sekolah kita,” sahut Ricky teman sekelasku
yang paling gokil dan diikuti oleh anak-anak yang laen.
Aku hanya
tersenyum melihat teman-temanku yang begitu perhatian kepadaku. Aku bangga
punya teman seperti mereke, meski nakal dan agak bandel tapi sebenarnya mereka
baik dan pintar. Tak terasa bel pulang berbunyi, kami pun segera berkemas-kemas
untuk pulang. Sebelum pulang tak lupa kami berdo’a terlebih dahulu, setelah
berdo’a selesai kamipun meniggalkan kelas tuk pulang ke rumah masing-masing.
***
Hari yang ku
tunggu-tunggu pun telah tiba, aku harus berangkat pagi-pagi ke sekolah karena
hari ini aku harus berangkat ke Jakarta untuk mengikuti olimpiade di
Universitas Indonesia. Sebelum berangkat aku berpamitan kepada ayah untuk
meminta doa restu agar disana diberi kemudahan dalam mengerjakan.
“Ayah…doakan
Dina, ya. Moga aja Dina lancar mengerjakan soal-soalnya dan mendapatkan juara.”
“Iya, sayank.
Ayah pasti mendo’akan kamu. Hati-hati saat mengerjakan soal dan jangan
tergesa-gesa, kamu harus teliti saat mengerjakannya,” kata pak Salim menasehati
Dina.
“Iya, Ayah.
Dina berangkat dulu,” pamit Dina kepada ayahnya.
“Hati-hati,
Nak. Mudah-mudahan kamu bias mengerjakan dan mendapatkan juara,” jawab pak
Salim dalam hati.
Tepat pukul
tujuh pagi Dina, Bu Susi dan Pak Arief Kepala Sekolah kami berangkat ke Jakarta
dengan menggunakan mobilnya Pak Arief. Sekitar dua jam perjalanan akhirnya
kamipun tiba di kampus Universitas Indonesia, suasana disana sudah ramai.
Sesampai di depan kampus aku dan bu Susi turun kemudian Pak Arief langsung
menuju ke parkiran untuk memarkirkan mobilnya. Aku sangat minder melihat
teman-teman, karena mereka kebanyakan berasal dari anak orang kaya, mungkin
hanya aku sendiri anak orang kurang mampu. Namun, dengan tekad dan semangat aku
harus bangga bisa ikut Olimpiade ini karena hanya satu-satunya dari sekolah
desa.
Sekitar pukul
sepuluh lomba pun di mulai yang diikuti oleh 33 anak dari berbagai provinsi di
Indonesia. Waktu terasa begitu cepat, tiga jam telah berlalu, suara bel pun berbunyi tanda lomba sudah
selasai, semua peserta lomba berhenti mengerjakan. Begitu pula denganku. Aku
bersyukur bisa mengerjakan semua soal yang telah diberikan. Setelah semua
peserta mengumpulkan, mereka pun kembali ke tempat semula bersama bapak ibu
guru pendamping sambil menunggu hasil pengumuman. Aku pun langsung menghampiri
bu Susi dan pak Arief.
“Gimana tadi,
Din??? Kamu bisa mengerjakannya kan???” tanya pak Arief dengan penuh keyakinan.
“Astungkara,
Pak. Soal-soalnya agak mudah-mudah pak. Semua yang diajarkan oleh bu Susi kepada
saya keluar, Pak,” tuturku kepada pak Arief.
“Terima kasih,
Bu telah mengajari saya dan memberi motivasi saya hingga saya bisa mengerjakan
semuanya,” ucap Dina.
“Iya, Nak. Itu
juga berkat hasil perjuanganmu,kalau kamu tidak ada keinginan untuk belajar tak
mungkin kamu bisa mengerjakannya.”
“Iya, Bu,”
jawabku terharu.
Jam sudah
menunjukkan pukul tiga sore, saat itulah yang aku tunggu-tunggu, hatiku
berdebar-debar hingga tubuhku keluar keringat dingin, ingin rasanya aku
cepat-cepat pengen tahu siapa yang akan jadi pemenang. Tak lama kemudian dewan
juri pun mengumumkan siapa yang jadi pemenang. Jantungku semakin
berdebar-debar, ku pegang erat-erat tangan bu Susi saat dewan juri membacakan
siapa yang jadi pemenang. Aku kaget dan tercengang saat namaku dipanggil sebagai
juara pertama dalam olimpiade kali ini. Aku tak yakin, aku bisa jadi juara
pertama. Akupun langsung berteriak histeris sambil memeluk bu Susi. Air mata
pun tak dapat lagi dibendung, aku bangga bisa mendapatkan apa yang ibu inginkan
saat beliau masih hidup. Aku sangat bersyukur sekali bisa mendapatkan juara
pertama dalam Olimpiade Biologi kali
ini.
Lomba telah
usai kami pun pulang dengan hati yang berbunga-bunga, kami telah berhasil
membawa pulang sebuah penghargaan ke
sekolah tercinta kami SMA NEGERI SUKAMAJU. Tepat pukul tujuh malam aku sampai
di rumah. Setiba di rumah aku pun disambut dengan gembira oleh ayahku dan Rini,
mereka begitu senang melihat aku pulang dengan membawa sebuah prestasi. Tapi
sayang, ibu tak ada di saat aku merasakan kebahagiaan.
Keesokan harinya,
aku pergi ke makam ibu untuk berziarah dan memberitahunya bahwa aku bisa
mendapatkan apa yang dulu ibu inginkan.
“Moga aja ibu
senang mendengarnya,” ucapku dalam hati.
Sesampai di
makam aku pun langsung meletakkan sebuah karangan bunga di atas batu nisannya.
Tak terasa air mataku berlinang.
“Ibu… Andai saja ibu masih hidup, ibu pasti
bangga melihat aku. Aku sudah bisa meraih apa yang ibu inginkan,” isak
tangisnya.
***
Bulan demi
bulan telah berlalu, akupun sudah lulus dari SMA NEGERI SUKAMAJU dengan nilai
yang memuaskan. Sekarang aku sudah masuk di fakultas kedokteran Universitas
Indonesia. Aku bangga bisa sekolah disini dengan jerih payahku selama tiga
tahun dan do’a orang tuaku. Namun, aku harus berpisah dengan ayah dan adikku
demi cita-citaku menjadi seorang dokter.
Sesuatu itu
tak mungkin dapat diraih dan dicapai apabila kita tak berusaha belajar dan
berdoa.
HIDUP
ITU ADALAH PILIHAN, PILIHAN AKAN MELAHIRKAN SUATU TUJUAN DAN TUJUANKU ADALAH
MENJADI YANG TERBAIK DARI YANG PALING
BAIK!!!!!
Tidak ada komentar:
Posting Komentar